Kejadian-kejadian buruk di masa lalu jangan sampai membentuk masa depan kita



Setiap hari adalah hari yang baik yang telah diciptakan oleh Sang Pencipta. Hari ini bukan untuk diratapi, bukan pula untuk ditangisi. Hidup ini diciptakan oleh Tuhan bagi kita untuk kita dinikmati. Maksudnya bukan berarti kita menikmati dengan cara melakukan hal-hal yang justru menghancurkan hidup kita. Sebaliknya, jalanilah hari ini dengan sukacita dan senyum di wajah Anda sekalipun persoalan Anda masih belum terselesaikan. Jalanilah hari ini dengan keyakinan, “Saya tidak sendiri menjalani hari ini. Tuhan Yang Maha Besar menemani saya dan pasti yang terbaik telah dipersiapkan-Nya bagi saya.”

Orang bijaksana adalah mereka yang mampu berbahagia sekalipun melalui masa-masa sulit. Mereka mampu menyanyikan persoalan-persoalan hidup mereka. Hidup ini sudah sulit, jangan lagi Anda membuatnya menjadi bertambah sulit dengan terus-menerus memikirkan persoalan-persoalan yang Anda alami. Alihkan dan fokuskan pikiran Anda kepada segala rahmat dan anugrah dari Tuhan, hari ini.

Hari kemarin telah berakhir tadi malam, jadi jangan lagi membawa masalah-masalah kemarin untuk hari ini. Kesusahan kemarin cukuplah untuk hari kemarin. Hari ini dan esok, ada kesusahannya sendiri.

Masih ada pula orang yang terjebak di masa lalunya yang pahit dan menghabiskan bertahun-tahun hidupnya dengan memikirkan kegagalan masa lalu tersebut. Padahal masa lalu yang buruk tidak berarti masa depannya akan buruk juga. Dan jangan mau masa depan kita diatur oleh masa lalu kita! Kejadian-kejadian buruk di masa lalu jangan sampai membentuk masa depan kita. Tinggalkan masa lalumu dan jalani jembatan antar masa lalu dan masa depanmu, yaitu HARI INI. Jangan tunggu hari lain untuk meraih kemenanganmu. Raihlah itu HARI INI juga!

Steven R Covey berkata, “Beratnya sebuah persoalan tidak tergantung kepada besar kecilnya persoalan itu tetapi terletak pada berapa lama Anda menanggung atau membawa persoalan tersebut, semakin lama Anda menanggungnya makin semakin beratlah beban hidup Anda.”

Suatu hari dalam sebuah kelas yang diajarkannya, dia membawa sebuah gelas berisi air dan mengangkat gelas itu di atas kepalanya. Lalu kepada para siswa-siswinya, “Apakah gelas yang berisi air di tangan saya ini berat atau ringan?”

Semua sepakat dengan menjawab, “Wah itu sih ringan sekali!”

Covey kemudian mengajukan pertanyaan selanjutnya, “Bagaimana kalau gelas ini saya angkat selama sebulan lamanya?”

Semua siswa-siswinya terdiam beberapa saat lamanya, lalu menjawab, “Pasti sangatlah berat.”

Demikian pula dengan persoalan-persoalan dalam hidup kita. Kelihatannya memang kecil dan sepele. Namun semakin lama kita menanggungnya atau membawanya, maka semakin bertambah sulitlah kehidupan kita, membuat kita bertambah stres, tertekan, kehilangan sukacita dan kebahagiaan dalam hidup. Itu sebabnya, selesaikanlah persoalanan Anda sedini mungkin. Jika Anda sedang sakit hati atau membenci seseorang, segeralah mungkin untuk mengampuninya. Jika Anda memutuskan untuk menyimpannya, maka hal itu akan memperburuk hidup Anda bahkan akan menjadi ‘racun’ yang menggerogoti dan membunuh jiwa Anda perlahan-lahan.

Seberapa besar kesulitan yang sedang Anda hadapi saat ini, mungkin kesulitan dalam rumah tangga, pekerjaan, keuangan, penyakit, atau apapun itu, saran saya: jangan pernah membiarkan itu mencuri sukacita Anda dalam menjalani hari ini. Jika Anda kehilangan sukacita, Anda kehilangan kekuatan. Ingat bahwa, “Hati yang gembira adalah obat yang manjur, namun semangat yang patah mengeringkan tulang.”

Bertindaklah seolah-olah Anda sudah merasa bahagia maka hal ini akan cenderung membuat Anda benar-benar bahagia.

Kebahagian dalam hidup tidak berarti bahwa kita akan menjalani hidup ini tanpa persoalan, tanpa kesulitan dan tanpa beban hidup. Tuhan pun tidak pernah menjanjikan bagi kita hidup tanpa persoalan. Yang Ia janjikan adalah kekuatan dan jalan keluar saat kita menghadapi masa-masa sulit dalam hidup ini. Justru kehidupan akan bertambah nikmat dan indahnya karena melalui masa sulit ada banyak hal yang bisa Anda bpelajari dari padanya.

Ingatlah bahwa segala sesuatu ada masanya. Ada masa untuk menabur, ada pula masa untuk menuai. Ada masa untuk mengangis, dan ada masa untuk tertawa. Jika hari ini kehidupan Anda sedang diliputi dengan berbagai masalah-masalah yang belum juga terselesaikan, nikmatilah hari ini, karena badai pasti berlalu. Ada masanya di mana masalahmu pasti terselesaikan!

“Life is not be endured, but to be enjoyed. Hidup tidak untuk dipikul, tetapi untuk dinikmati.”

Cermin dan Hati



Cermin yang kotor, berdebu, dan kusam bisa dipastikan tidak akan mampu memantulkan kembali cahaya. Kita pun tidak akan bisa melihat dengan baik keadaan diri kita. Dalam keadaan cermin demikian paling tidak ada dua kemungkinannya.

Pertama, karena cermin tersebut tidak pernah dibersihkan dan disentuh sama sekali. Atau kedua, karena cermin tersebut dipalingkan dan menyamping atau membelakangi sumber cahaya. Karena kedua hal tersebut, cermin menjadi kotor bahkan hitam dan pekat.

Demikian halnya dengan hati manusia. Ibarat sebuah cermin, maka hati yang kotor, rusak, dan gelap bisa dipastikan tidak akan mampu memantulkan kembali cahayanya. Kita pun tidak bisa melihat dengan baik segala kekurangan dan kelemahan kita. Kita sama sekali tidak bisa becermin dan mengambil sesuatu darinya.

Penyebab keadaan hati kotor, hitam, dan pekat, bisa karena dua hal.

Pertama, hati kita tidak pernah dibersihkan dengan tingkat kebeningan yang sempurna. Malah sering kita tempelkan dengan noda hitam maksiat dan lumpur pekat dari aneka pengkhianatan dan dosa. “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan, bagi mereka siksa yang amat berat.“ (QS al-Baqarah [2]: 7).
Rasulullah SAW mengingatkan kita dalam sabdanya, “Setiap sesuatu ada pembersihnya. Dan pembersih hati yang kotor adalah zikrullah.“

Kedua, hati kita tidak diarahkan kepada sumber cahaya. Ia sering berpaling, menyerong, dan menyamping dari cahaya. Bahkan, membelakangi sumber cahaya.
Keadaan hati kita lebih sering diarahkan kepada sumber-sumber yang kotor atau kecipratan banyak kotoran dan noda hitam. Jika sumber cahaya adalah Allah (QS anNuur [18]: 35), maka sumber kotoran adalah setan. Seperti disebut dalam sebuah maqalah, “Hati ibarat sebuah wadah. Jika tidak pernah diisi dengan zikrullah maka wadah tersebut akan penuh dengan kotoran setan.“

Orang yang bersih dari dosa, hatinya bagaikan cermin yang bening, akan begitu mudah untuk berkaca diri. Orang yang suka mengerjakan dosa-dosa kecil, hatinya buram bagaikan cermin yang berdebu, jika digunakan kurang jelas hasilnya. Orang yang suka melakukan dosa besar, hatinya gelap, bagaikan cermin yang tersiram cat hitam.

Sedangkan orang yang suka mencampuradukkan perbuatan baik dengan dosa, hatinya kacau bagaikan cermin yang retak-retak, jika digunakan akan menghasilkan visual yang tidak benar.

Adapun hati yang sudah tumpul dan mati karena pekatnya dosa, seyogianya didekati dengan alat dan energi baru, yakni melalui mujahadah dan riyadhah.

Mujahadah itu adalah tobat yang serius (taubatan nashuha) dan berikrar untuk taat. Sementara riyadhah, ridha untuk istikamah menghidupkan sunah Nabi SAW dimulai dengan qiyamul lail, tadabbur Quran, shalat berjamaah di masjid, shalat dhuha, menjaga wudhu, sedekah, dan terus berzikir kepada Allah. Dengan begitu, niscaya, hati akan kembali memantulkan cahaya seperti cermin yang kembali bercahaya.

Perlancar dulu rezeki orang lain, agar tidak menyumbat rezeki kita.



Hardi, seorang pedagang kelontong yang cukup berhasil di kotanya. Namun jangan lihat keberhasilannya sekarang sebelum tahu faktor apa yang menjadi penyebab usahanya maju dan lancar.

Setahun yang lalu, Hardi mengadukan nasibnya kepada guru ngajinya. Ia mengaku sudah lebih sebelas tahun mencoba berbagai usaha namun selalu kandas di tengah jalan. Usaha pertamanya sudah dimulai saat ia baru memasuki kuliah tingkat dua, sekitar tahun 1994. Saat itu, ia mendapat pembagian warisan dari orangtuanya yang belum lama meninggal dunia. Jiwa bisnisnya memang sudah terlihat semenjak kecil, jadi wajar jika kemudian ia mendapatkan uang warisan dalam jumlah yang cukup banyak, maka yang terbersit di kepalanya adalah bisnis.

Maka, beberapa bulan kemudian ia membuka sebuah warung makan. Mulanya, warung makannya berjalan normal, bahkan bisa dibilang sangat laku keras. Mungkin karena ia melakukan promosi sangat gencar, selain karena ia termasuk anak muda yang memiliki cukup banyak relasi meski pun usianya masih sangat muda. Jadi sangat mudah baginya untuk mengundang sahabat, kerabat dan relasinya untuk sekadar mencicipi warung makan miliknya.

Entah kenapa, selang tiga bulan kemudian satu persatu pelanggan meninggalkannya. Tak banyak lagi yang makan di warungnya, sehingga dalam waktu tak berapa lama ia terpaksa menutup usahanya dan gulung tikar. Ia pun berganti usaha yang lain dengan sisa modal yang ada.

Usaha barunya, tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Masih seputar makanan. Kali ini ia membuka usaha catering yang melayani makan untuk kantor-kantor di kota tinggalnya. Alhamdulillah ia dipercaya seorang rekannya yang bekerja di sebuah perusahaan untuk memasukkan catering untuk makan siang beberapa
karyawan. Untuk sebuah awalan, catering untuk sekitar 20 karyawan dianggapnya bagus. “Mulanya 20, insya Allah menjadi 200, 2000 dan seterusnya.. .” semangat Hardi berapi-api.

Alih-alih bertambah pelanggan, rupanya Allah SWT berkehendak lain. Yang 20 pun menyetop langganan catering kepada Hardi, sementara selama satu bulan penuh itu ia belum mendapatkan pelanggan baru. Akhirnya, ia pun kembali mengalami kebangkrutan. Demikian seterusnya hingga lebih sepuluh tahun kemudian ia berganti jenis usaha selalu menemui kegagalan.

Pada satu kesempatan ia mengadukan perihal kegagalan demi kegagalan usahanya kepaada guru mengajinya. Ia menceritakan secara detil semua jenis usaha yang pernah dicobanya dan bagaimana sampai akhirnya semua usahanya gagal. “Saya harus usaha apalagi guru, saya sudah kehabisan modal. Bahkan saat ini saya memiliki hutang yang tidak sedikit…” keluhnya.

Guru tersebut tak lantas memberikan jawaban dengan menyebut satu bentuk usaha baru yang patut dicoba Hardi, melainkan meminta Hardi mengingat-ingat sesuatu di masa lalu. “Coba ingat, pernah punya hutang atau tidak di masa lalu? Atau pernah punya sangkutan berkenaan dengan rezeki orang lain atau tidak di masa lalu…?” tanya sang guru.

Dahi Hardi mengerenyit, mencoba mengingat-ingat masa lampaunya. Rasa-rasanya ia tak pernah punya hutang kepada siapa pun, justru sebaliknya ia malah mengingat kembali daftar nama-nama yang pernah berhutang kepadanya. “Coba lebih keras mengingat, mungkin nilainya kecil, tapi boleh jadi itu yang menjadi penyumbat rezekimu…

Astaghfirullah. … ” Hardi teringat sesuatu. Ia pun segera menyalami sang guru dan mohon pamit seraya berucap terima kasih. Pria itu segera memacu kencang kendaraannya menuju suatu tempat. Dalam hati ia berharap cemas, “Semoga masih ada warung itu...”

Tidak kurang dari tiga belas jam waktu yang ditempuh Hardi menuju Semarang, mencari satu tempat yang pernah ia singgahi hampir dua belas tahun yang lalu. Tiba di tempat yang dituju, ia tidak menemukan lagi warung mie ayam tempatnya makan dahulu. Kemudian ia mencoba bertanya kepada orang-orang di sekitar perihal tukang mie yang pernah berjualan di situ.

Ya, tukang mie itu bapak saya. Sekarang sudah tidak berjualan lagi. Sekarang bapak sedang sakit parah…” seorang anak menceritakan ciri-ciri fisik penjual mie ayam itu, dan Hardi yakin sekali itu orang yang dicarinya. Tanpa pikir panjang, ia minta diantarkan ke rumah penjual mie untuk bertemu langsung.

Ketika melihat kondisi penjual mie, Hardi menitikkan air mata. Ia langsung meminta beberapa anggota keluara membopong penjual mie itu ke mobilnya dan segera membawanya ke rumah sakit. Alhamdulillah, jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, mungkin penjual mie itu tidak akan tertolong. Seluruh biaya rumah sakit tercatat mencapai lima belas juta rupiah, dan semuanya ditanggung oleh Hardi.

Beberapa hari kemudian, setelah kembali ke rumah, bapak penjual mie itu mengucapkan terima kasih kepada Hardi. “Bapak tidak tahu harus bagaimana mengembalikan uang biaya berobat itu kepada nak Hardi. Usaha dagang bapak sedang susah…” Hardi berkali-kali mencium tangan Pak Atmo, penjual mie itu. Matanya tak henti menitikkan air mata, ia sedang berusaha menyatakan sesuatu, namun bibirnya terasa sangat berat.

Akhirnya, “… semua sudah terbayar lunas pak. Saya hanya minta bapak mengikhlaskan semangkuk mie ayam yang pernah saya makan tanpa membayar dua belas tahun silam”, Hardi terus menangis berharap keikhlasan itu didapatnya.
Saat itu, sehabis makan ia langsung kabur memacu sepeda motornya dan tak membayar semangkuk mie seharga 1.500 rupiah.

Pak Atmo memeluk erat tubuh Hardi dan mengusap-usap kepala pria muda itu seraya berucap, “Allah Maha SWT Pemaaf, begitu pun semestinya kita…“.

Perlancar dulu rezeki orang lain, agar tidak menyumbat rezeki kita.
Wallaahua’lam bishshowaab.

Berbaik sangka…


Rasulullah SAW selalu mencontohkan kepada para sahabatnya untuk berbaik sangka terhadap semua orang.
Abu Hurairah RA meriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah mengutus Umar untuk menarik zakat, tetapi Ibnu Jamil, Khalid bin Walid, dan Abbas, paman Rasulullah, tidak menyerahkan (zakat), “Tidak ada sesuatu yang membuat Ibnu Jamil enggan untuk menyerahkan zakat, kecuali karena dia fakir, kemudian Allah menjadikannya kaya. Adapun Khalid, sesungguhnya kalian telah berbuat zalim terhadapnya (karena) ia menginfakkan baju besi dan peralatan perangnya di jalan Allah. Adapun Abbas, aku telah mengambil zakatnya dua tahun yang lalu.“ (HR Bukhari dan Muslim).

Rasul SAW senantiasa memperingatkan umat Islam agar menjauhi prasangka buruk. “Jauhilah prasangka karena sesungguhnya prasangka itu pembicaraan yang paling dusta. Janganlah kalian menyadap (pembicaraan kaum), memata-matai mereka, berlombalomba (dalam hal yang tidak baik), saling mendengki, saling membenci, dan saling membelakangi.
Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.“ (HR Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah).

Al-Hafidz mengatakan bahwa Khaththabi berpendapat bahwa yang dimaksud prasangka dalam hadis tersebut adalah benar-benar prasangka, bukan sesuatu yang terlintas dalam benak pikiran, sebab hal itu di luar kemampuan seseorang. Prasangka yang dimaksud oleh Khaththabi adalah prasangka yang menetap dalam hati. Lintasan hati adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari manu sia. “Allah mengampuni prasangka yang terlintas dalam hati manusia selama mereka tidak membicarakan atau melakukannya.“

(HR Bukhari dan Muslim).

Qurthubi mengatakan, yang dimaksud dengan prasangka (yang terlarang) adalah tuduhan tanpa alasan. Misalnya menuduh seseorang melakukan zina tanpa ada bukti nyata. Karena itu, kata azhzhann dalam redaksi hadis ini, dihubungkan dengan larangan untuk memata-matai orang lain.
Jika seseorang memiliki sedikit prasangka yang mengarah pada tuduhan di dalam hatinya, ia akan berupaya untuk mewujudkan tuduhan itu. Dia akan mencari-cari kesalahan orang yang dituduh dengan memata-matainya. Karena, langkah-langkah itu dilarang agama. “Jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain …“ (QS al-Hujarat: 12). Dalam kehidupan masyarakat kita akhir-akhir ini banyak kejadian yang bersifat prasangka dan tuduhan di antara sesama warga (su’uzhan). Padahal, berbagai persoalan tersebut memerlukan penelitian, klarifikasi (tabayyuni) sehingga duduk persoalan jelas dan kita dapat menyikapinya dengan bijaksana agar tidak menyalahkan orang lain.
Karena itu, kearifan dari berbagai pihak khususnya para tokoh dan pemimpin masyarakat merupakan sikap Nabi yang selalu husnuzhan dalam menyikapi berbagai persoalan sehingga masalah menjadi cair, jernih, dan sejuk dan akhirnya persoalan dapat diselesaikan dengan damai dan adil. Wallahu `alam.

Nurani Sang Pemimpin



Di suatu malam, Umar bin Khattab yang ditemani se orang pengawalnya melakukan sidak dengan berjalan kaki. Di sebuah rumah yang cukup gelap, Umar mendengar suara tangisan seorang perempuan. Umar pun ber usaha mendekati sumber suara tangisan itu untuk mengetahui secara pasti apa yang sedang terjadi.

“Wahai Ibu, apakah yang menjadikanmu menangis di tengah malam seperti ini?“ tanya Umar.
Perempuan itu pun menjawab, “Sudah dari tadi anak saya menangis karena lapar, sementara tak sebiji gandum pun yang aku punya. Dan, sekarang mereka tertidur karena sudah terlalu lelah menunggu makanan,“ jawabnya sambil terus menyeka air matanya.

Melihat tungku menyala, Umar bertanya, “Apa yang sedang ibu rebus itu?“ Sang perempuan menjawab. “Itu batu, bukan makanan.
Setiap kali anak-anakku meminta makan, saya katakan sebentar lagi Nak, makanannya belum matang.
Itu terpaksa aku lakukan, supaya anakku terhibur dan bisa tidur di malam ini.“

Mendengar jawaban sang ibu, Umar pun pamit dan bergegas menuju baitul mal. Sampai di baitul mal, Umar mengambil sekarung gandum dan memikulnya sendiri.
Melihat sang khalifah memikul gandum, pengawalnya berusaha memberikan tawaran kepada Umar agar gandum itu diberikan kepada nya. Dengan singkat Umar menjawab, “Apa kamu sanggup memikul dosa-dosaku di akhirat nanti.“

Itulah sekelumit perjalanan seorang Umar, khalifah kedua yang penuh inspirasi dan tetap terkenang sepanjang sejarah. Gagah berani di medan pertempuran, lemah lembut terhadap istri dan anakanak, serta penuh kasih sayang kepada seluruh rakyatnya. Jangankan manusia, dalam satu riwayat Umar pernah berkata, “Kalau ada kambing yang terperosok lalu mati disebabkan jalan yang rusak, Umarlah yang bertanggung jawab dunia akhirat!“ Demikianlah pemimpin yang bernurani. Sosoknya senantiasa mengutamakan rakyatnya dari pada diri dan kepentingan kelompoknya. Bukan saja manusianya, tetapi seluruh aset rakyatnya, termasuk binatang ternak, sawah, dan ladangnya.

Nurani seorang pemimpin mendorong jiwa raganya untuk bergerak memperjuangkan hak-hak rakyatnya, khususnya rakyat yang hidup dalam keadaan serba kesusahan. Siang dan malam digunakan sepenuhnya untuk bisa membebaskan rakyatnya dari kemiskinan, kebodohan, dan penjajahan.

Apabila pemimpin bernurani akan selalu dicintai, dirindukan kehadirannya maka sebaliknya, pemimpin yang tidak bernurani akan selalu dibenci oleh seluruh umat manusia, bahkan oleh Allah dan rasul-Nya.

Pemimpin yang tidak memper hatikan nasib rakyatnya dengan sungguh-sungguh, suka berbelanja dengan uang rakyat, bermegahmegahan, sering kenyang lebih dahulu dan menangis belakangan, itulah pemimpin yang suka berdusta yang telah membeku nuraninya.

Terhadap pemimpin seperti itu, Alquran memberikan peringatan keras bahwa siapa saja yang mengaku beriman tetapi tidak peduli terhadap derita kaum papa, maka mereka itu adalah orang yang termasuk kelompok pendusta agama.

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.“ (QS al-Ma’un [107]: 1­3). Wallahu a’lam.

Mengapreasi Dr. Abdul Manan

Pit – Stop


Sekali waktu tontonlah sampai tuntas adu balap mobil Formula satu di televisi.
Semua pembalap berlomba memenangkan pertandingan, memacu mobil sekencang-kencangnya.

Ternyata, hal terpenting dalam strategi untuk memenangkan perlombaan adalah “pit-stop”, masuk ke jalur atau kawasan tempat mobil akan disegarkan kembali dengan menambah bahan bakar dan mengganti ban-nya yang sudah terkikis.

Di “pit-stop” pula biasanya strategi balap diperhitungkan.
Memasukkan mobil ke pit stop dalam waktu yang tepat bisa memperbaiki atau menentukan posisi dalam balapan.

Dalam kehidupan sehari-hari, pit-stop dapat mewujud dalam berbagai bentuk.
Misalnya mengikuti pelatihan atau pencerahan, membaca buku yang mencerahkan, shalat 5 waktu (bagi yang beragama Islam), berdoa dengan penuh kesungguhan, beristirahat makan siang, atau bercengkrama dengan sahabat, keluarga atau dengan orang2 yg kita sayangi dan menyayangi kita.
Taukah Anda, bahwa Pit-stop membantu kita meraih kehidupan yang utuh.

Banyak orang yang kelihatannya bekerja begitu keras untuk meraih kesuksesan hidup, yang banyak terjadi adalah justru mereka bagai kelelawar terbang di siang hari.

Walau banyak sinar matahari, kelelawar tak mampu melihat.
Mereka terlalu sibuk dan tak mampu melihat kehebatan, contohnya: kehebatan polah tingkah buah hati mereka yang lucu.

Mereka tak tahu betapa dalam cinta dan perhatian pendamping hidup (suami/istri) yang mereka miliki atau kerabat terdekat yang menyayangi mereka.

Mereka juga tak menyadari begitu banyak inspirasi kehidupan baru sebenarnya sudah tersedia di sekitar mereka.
Bahkan, terkadang mereka tak menyadari dan tak tahu siapa diri mereka sendiri.
Mereka begitu sibuk sehingga tak mampu memahami makna sesungguhnya dari kehidupan ini.
Bila kita terlalu sibuk, kita akan lupa untuk menikmati hidup.

Kita melakukan banyak kegiatan namun kita lupa apa yang kita lakukan dan untuk apa kita melakukannya.
Kita hanya melakukannya tapi tanpa hati.
Kita hanya melakukannya tapi tanpa visi.
Kita melakukannya tapi tanpa jiwa.
Walau kita sibuk, hidup kita kering dan gersang.

Saat nya kita melakukan pit-stop.
Renungkanlah untuk apa kita hidup..?
Mau kemana setelah kehidupan ini berakhir..?
Sudah berapa lama usia perkawinan kita.?
Lalu hal terbaik apa yang pernah kita berikan kepada pasangan hidup kita.?

Luangkanlah sejenak waktu (pit-stop) untuk mendengarkan celoteh dan cerita anak kita dengan penuh perhatian. Antarkan dan dampingi mereka ke tempat yang mereka amat senangi.
Berperilakulah seolah-olah kita adalah teman sepermainan buah hati kita.

Kunjungilah orang tua kita, berceritalah tentang pengalaman bahagia kita bersama mereka dulu.
Tanyailah masa kanak-kanak kita yang membuat mereka bahagia.
Minta izinlah untuk tidur di atas pangkuan mereka.
Mohonlah agar tangan mereka yang telah keriput membelai dan mengusap wajah kita.
Kecuplah tangan yang dulu pernah memandikan dan menimang kita atau ciumlah kedua kaki ibu kita.

Begitu pula, kunjungilah para sahabat, guru sekolah, guru kehidupan kita atau orang-orang yang kita sayangi dan menyayangi kita.
Datangi pula orang-orang yang berjasa dalam hidup kita.
Kunjungi tetangga dan jangan lupa kunjungi dan tengoklah rumah ibadah yang juga merindukan kehadiran kita.
Lakukan pit-stop agar hidup kita bermakna.

Karena Pit-Stop menjadikan hidup kita lebih hidup. 🙂

Kejujuran Mahkota Kehidupan


Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati.“ (QS Ghafir: 19).
Sesungguhnya Rabbmu benar-benar mengawasi.“ (QS al-Fajr: 14).

Suatu hari, Khalifah Umar bin Khattab berjalan melintasi padang rumput.
Dia terpesona melihat kambing-kambing yang gemuk dan sehat.
Dia kemudian menemui sang penggembala dan berniat untuk membelinya.

Namun, budak itu menolak dengan alasan kambing itu punya majikannya.
Khalifah Umar berkata lagi, “Bilang saja kepada majikanmu bahwa kambing itu dimakan serigala.
Namun, apa kata si bocah gembala? “Kalau begitu, di mana Allah SWT?“ Akhirnya, Umar membebaskan budak tersebut dan menyerahkan seluruh kambing itu kepadanya.

Pada waktu lainnya, ketika musim paceklik, Khalifah Umar berjalan berkeliling Kota Madinah.
Sebelumnya, dia mewanti-wanti kepada kaum Muslim agar jangan berlaku curang.
Ketika pada suatu malam dia melintas dekat sebuah rumah, terdengar percakapan antara seorang ibu penjual susu dan anak gadisnya. Sang ibu menyuruh anaknya untuk mencampur susu tersebut dengan air supaya hasilnya lebih banyak dan mereka untung lebih besar.

Namun, sang gadis tidak mau, karena Khalifah Umar melarang warga mencampur susu dengan air.
Ia menyatakan, “Memang, tidak ada orang yang mengetahui perbuatan kita. Tapi, di mana Allah SWT? Allah SWT dan para malaikat tahu, dan besok di hari kiamat kita akan dimintai pertanggungjawaban nya.“ Mendengar kejujuran sang gadis, Khalifah Umar lalu mengambilnya sebagai menantu.

Dua kisah di atas menggambarkan betapa agungnya kejujuran.
Kejujuran yang lahir dari iman yang teguh kepada Allah SWT.
Iman yang meyakini bahwa Allah Maha Melihat apa pun yang kita lakukan, biarpun tidak ada orang lain yang tahu.

Selalu jujur kapan pun dan di manapun. Selalu merasa diawasi oleh Allah SWT (muraqabah).

Rasul SAW memerintahkan kepada setiap Muslim untuk selalu bersikap dan berbuat jujur.
Sebaliknya, Rasul SAW mengingatkan setiap Muslim agar menghindari sikap dan perbuatan dusta.

Mari kita simak hadis berikut ini: “Bersikaplah jujur. Sesungguhnya kejujuran mengantarkan pada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan ke surga. Jauhilah bohong. Sesungguhnya kebohongan menyeret pada kedurjanaan, dan kedurjanaan menyeret ke neraka ….“ (HR Muslim).

Jujur adalah mahkota kehidupan. Karena itu, sudah seharusnya kaum Muslim senantiasa berpegang teguh pada kejujuran.

Kejujuran akan mencegah seseorang dari melakukan hal-hal yang tidak diridai Allah SWT. Misalnya, korupsi, berjudi, berzina, mencuri, merampok, menipu, memperdaya orang lain, dan berbagai perbuatan buruk lainnya yang selama ini, dan terutama akhir-akhir ini, makin sering terjadi di negeri ini.

Sesungguhnya Allah SWT itu cemburu. Cemburunya Allah SWT, yaitu jika seseorang melakukan sesuatu yang diharamkan terhadapnya.“ (HR Bukhari-Muslim).

Mengapreasi Sir Dr. Riawan Amin

Libatkan Dalam Proses… [tips kepemimpinan]



Salah satu kunci kepemimpinan adalah kaderisasi.
Kunci lain adalah keterikatan emosional atau membangun rasa memiliki.
Kunci berikutnya adalah penghargaan.

Nah bagaimana agar ketiga kunci tersebut bersatu dalam leadership Anda.
Jawabannya adalah: libatkan dalam proses.
Jika Anda melibatkan staf, anak buah, murid, anak, dalam proses sebuah keputusan atau produk maka mereka akan mempunyai rasa memiliki, merasa dihargai, dan tanpa sadar sedang terdidik untuk kaderisasi.

Sebaliknya kalau kita hanya memberi perintah, mendikte staf, anak buah, murid, anak didik atau anak, maka yang terjadi adalah menjadikan mesin manusia.

Ada contoh sederhana kenapa dalam banyak hal orang lebih suka dilibatkan ketimbang cuma menerima perintah atau hasil.

Ambil dua mangkok bubur ayam.
Satu biarkan tertata sebagaimana penyajian penjual bubur ayam.
Satu lagi aduk merata sebagaimana kebanyakan orang mau makan bubur ayam.
Lalu sediakan pada dua teman Anda.
Teman yang menerima bubur ayam yang tersaji biasa akan dengan senang hati menerima,
dan kemudian mengaduknya dan memakannya.
Sedangkan teman yang melihat bubur ayam dalam keadaan sudah teraduk mungkin bahkan tidak mau mencicipinya.
Ia akan geli melihat sendok yang sudah dilumuri bubur atau kecep yang berantakan di sekitar mangkok. Secara psikologis ia menerima bubur makan bekas orang.
Padahal kedua bubur tersebut sama-sama belum ada yang makan.
Kenapa yang kedua jijik?
Karena ia tidak terlibat prosesnya.
Akan lain cerita kalau kita membantunya mengadukkan bubur di depan matanya.
Lain cerita lagi kalau kita sendiri yang mengaduknya.
Jadi kadang dua hal sama menjadi berbeda ditanggapinya hanya karena yang satu terlibat prosesnya sedang yang lain tidak.

Kadang masalah demo buruh, atau protes terjadi hanya karena satu pihak tidak dilibatkan dalam proses keputusan.
Dalam parenting juga demikian. Jika kita melibatkan anak dalam membuat keputusan, maka anak akan lebih merasa bertanggungjawab atas keputusan tersebut dan merasa dihargai.

Memang tidak seluruh keputusan harus melibatkan semua, tetapi kadang membuat orang merasa itu adalah pilihannya, akan berdampak lebih baik atas sebuah keputusan.

No Excuse! Karena Anda bisa!

Mengapresiasi Muslim Aqiqah

Topeng mana yang sering Anda pakai?


Janganlah karena kekhawatiran bahwa orang lain tidak akan menghargai nilai dari kebaikan yang sederhana dari wajah asli Anda, menjadikan Anda cenderung untuk memilih topeng yang baik sebagai wajah harian Anda.
Karena, topeng yang paling sering Anda kenakan, akan menjadi wajah Anda.
Dan sangat berhati-hatilah dengan orang yang mengenakan topeng berwajah baik.
Ingatlah, hanya orang tidak baik yang membutuhkan topeng berwajah baik.
Orang baik tidak memerlukan topeng.
Tuhan memberi Anda wajah, tetapi keindahan ekspresinya adalah tanggung-jawab Anda.
Maka pantaskanlah kebaikan sebagai ekspresi dari wajah Anda.

Previous Older Entries